let's share the light

Mengenal Diri

Picture
Sebagaimana dinyatakan dalam bait tembang di atas, orang yang mengetahui kembang tepus niscaya ia akan mengerti artadaya. Iaakan mengenal Diri-nya sendiri. Dan, ternyata artadaya itu satu asal dengan "sang hidup" [Sukma Jati] manusia itu sendiri. Satu pancer dengan hidupnya manusia. Satu turunan! Baik Artadaya maupun sang hidup muncul dari sumber yang sama, yaitu dari cahaya yang terpuji, yang dalam bahasa Arabnya disebut "Nur Muhammad". Atau, al-haqiqah al-mu_hammadiyyah. Hakikat cahaya yang terpuji. Juga di­sebut sebagai "hakikat Buddha" atau "hakikat Yesus". Tetapi Sunan menyebutnya dalam ungkapan Jawa "kembang tepus".

Tanaman tepus termasuk dalam keluarga jahe-jahean. Dan, sudah dikenal sejak zaman Jawa kuno. Tumbuhan ini mudah sekali ber­kembang-biak dengan rimpang atau akarnya. Batang, daun, dan bu­nganya tumbuh dari akar yang sama. Jadi, daya kuasa dan hidupnya bunga tepus itu satu pancer. Manusia yang terdiri dari wujud lahiriah dan uripe, hidupnya, juga satu akar. Satu pohon! Keduanya berasal dari cahaya yang terpuji. Dan, cahaya yang terpuji ini berasal dari Cahaya Ilahi. Cahaya di atas cahaya. Allah adalah cahaya di atas cahaya. Nur `ala nur [QS. 24: 351].

Bagi mereka yang hobi membaca hadis, dia pasti tahu tentang adanya hadis yang menerangkan bahwa segala sesuatu di alam raya ini berasal dari cahaya yang terpuji, cahya kang pinuji, ya Nur Mu­hammad. Hadis ini sebenarnya mengingatkan kita bahwa kita semua ini, baik yang berupa langit dan bumi, hewan dan tumbuhan, asal ­usulnya sama dengan manusia dan jiwanya. Semuanya berasal dari cahaya yang terpuji. Tak ada yang muncul dari akar yang lain. Cuma Artadaya ini bisa menjadi tirai bagi Sang Diri dalam melihat Dia.

Kalau kita sudah mengetahui bahwa asal-usul segala sesuatu itu sama, maka kita harus bisa saling mengenal. Yang akhirnya sama-­sama tahu tujuan hidup ini. Tahu tujuan hidup ini penting! Haji bagi umat Islam sebenarnya merupakan cara untuk membangun ke­hidupan masyarakat yang egaliter. Hidup Setara. Sederajat! Karena itu, yang diseru untuk menunaikan ibadah haji itu yang mampu. Terjadinya pertikaian, perselisihan, peperangan, saling membunuh, sa­ling mendengki, saling merusak, dan berbagai macam tindakan negatif lainnya, disebabkan ketidaktahuannya tentang tujuan hidup di dunia ini. Terutama oleh ulah yang mampu.

Adanya hijab, tabir yang menutupi pengetahuan manusia tentang asal-usul dan tujuannya, menyebabkan manusia gampang terperosok hidupnya. Artadaya yang berguna untuk menempuh perjalanan hi­dupnya, malah sering membelenggu manusia itu sendiri. Keinginan manusia untuk bisa lepas dari bumi, malah membuatnya terjerat di bumi. Keinginan manusia untuk hidup merdeka, malah saling sikut untuk menaklukkan atau menguasai yang lain.

Manusia harus mengetahui bunga tepus. Mengetahui dzat dan sifatnya sendiri. Dalam dialognya dengan Nabi Khidhir, Sunan Ka­lijaga diingatkan agar dalam hidup ini tidak sekadar berjalan. Tapi, sungguh-sungguh melihat apa yang ada di sekelilingnya. Tanpa me­merhatikan dengan sungguh-sungguh manusia akan kehilangan jati dirinya. Akan kehilangan orientasi hidupnya. Tujuan hidupnya!

Dalam petualangan mistiknya ketika berada di dalam badan Nabi Khidhir, Sunan Kalijaga menyampaikan kisahnya sebagai berikut.

Ingkang dihin sira anon cahyo gumawang tan wruh arane pancamaya
puniku
sejatine ryas sayekti pangarepe saris

pancamaya iku
ingaranan muka sipat
ingkang nuntun sipat kang linuwih
yeku asline sipat.//12

"Yang pertama kau lihat cahaya, yang mencorong, tapi kau tak tahu namanya. Itulah pancamaya! Yang senyata-nyatanya ada di dalam hati. Menganir badan manusia. Pancamaya itu, juga dinamakan mukasyafah. Menuntun sifat-sifat mulia sifat asal diri manusia."
        

Jelas sekali bahwa di dalam lubuk hati terdalam manusia ada pancamaya. Perlu diperhatikan! Bahwa yang disebut "hati" di sini bukanlah organ fisik manusia yang terletak di sebelah kanan dada. Bukan itu! Tapi hati dalam makna rohani. Suatu tempat di alam gaib yang juga tempat bagi Betal Mukaram [baitul muharram]. Tetapi ada relasi atau hubungannya antara alam gaib dan alam nyata. Lalu apa yang disebut pancamaya?

 

Kalau diterjemahkan secara harfiah, pancamaya artinya lima ba­yangan. Namun, kata maya juga bisa bermakna aneka warna, berbagai macam. Bermacam-macam. Jadi, pancamaya merupakan pelita asal yang ada pada manusia. Ia adalah alqalam. Karena itu, disebut sebagai pengatur badan. Yang mengatur tumbuh dan berkembangnya tubuh fisik manusia sejak benih manusia terbentuk.

Kodrat tertanam di dalam benih. Ketika Sang Diri melakukan mikraj dari Betal Mukaram ke Betal Makmur dan turun ke Betal Mukadas, Sang Hartati menyambut kedatangannya. Dia membawakan kodrat untuk Sang Diri. Sang Hartati membawa sarana bagi Sang Diri. Berpadunya Sang Diri dengan sang Hartati menjelma sebagai bayi, yang disebut sebagai wujud dari Artadaya. Sedangkan pancamaya menuntun dan mengarahkan jalannya kodrat pada manusia.

 Pancamaya mengarahkan manusia untuk memiliki sifat-sifat mulia. Dan, sifat-sifat mulia sebenarnya merupakan sifat asli manusia. Disebut juga mukasyafah. Sifat yang tersingkap hijabnya. Terbuka topengnya. Ini artinya berbagai kejahatan itu baru timbul di belakang hari, bukan sifat asli yang tertanam di dalam jati diri manusia. Sering kita berkata bahwa dalam hidup ini kita harus bisa mendengarkan suara hati nurani, hati yang bercahaya. Pancamaya ini di alam gaib memancarkan sinarnya terang sekali. Mencorong! Jadi, selama orang mendengarkan suara hati nuraninya, mengikuti pancamayanya, maka ia tak akan ter­sesat dalam hidup ini.

Persoalannya, pancamaya ini bersandangkan Artadaya. Terselimuti oleh nafsu. pancamaya terselubungi oleh daya dan kekuatan untuk kelangsungan hidupnya di bumi ini. Tanpa Artadaya manusia akan kehilangan vitalitas hidupnya. Tak ada semangatnya lagi. Tanpa Arta­daya manusia tidak kepengen, tak menginginkan, lezatnya dunia ini. Tapi, nafsu yang tak terkendali akan berubah menjadi hawa nafsu. Yaitu, nafsu yang menjatuhkan diri manusia. Nafsu yang mendorong manusia terperosok ke dunia yang gelap.

Sifat asal jati diri itu adalah ketenangan. Kedamaian. Keten­traman. Sehingga pancamaya memancarkan cahaya warna putih. Ba­gaikan matahari, meski pancaran sinarnya terdiri dari berbagai macam warna, tapi tampak putih belaka. Dan, warna putih melambangkan kesucian batin manusia. Tapi, pancamaya ini tertutupi oleh tiga ke­kuatan alam. Yaitu, kekuatan yang diwarisi dari orangtua, kekuatan unsur preyo, dan kekuatan sreyo sebagaimana telah dijelaskan di atas. Ketiga kekuatan itu dilambangkan dengan warna hitam, merah, dan kuning. Ketiga kekuatan itu menjadi penghalang bagi manusia untuk manunggal dengan Yang Maha Kuasa.

 Meskipun ketiga kekuatan tersebut bisa menjadi penghalang bagi manusia untuk menyempurnakan dirinya, tetapi kekuatannya diper­lukan untuk mempertahankan hidup di dunia ini. Diperlukan untuk hidup bermasyarakat. Untuk hamemayu ayuning buwana. Untuk men­ciptakan keindahan dunia. Lalu, apakah sifat nafsu yang dilambangkan dengan warna hitam, merah, dan kuning itu?

 Daya yang memancarkan warna hitam membangkitkan rasa ma­rah dan sakit hati. Jika daya hitam ini menguasai manusia maka ia akan berbuat secara membabi buta. Berbuat tanpa arah. Tetapi, daya yang berwarna hitam ini juga berfungsi secara positif bila dikuasai. Keperkasaan manusia justru wujud dari pancaran cahaya hitam di dalam dirinya. Kharisma manusia juga lahir dari daya yang berwarna hitam.

 Warna hitam juga simbol bagi dunia gelap. Manusia tercipta juga di alam yang gelap. Kegelapan di rahim ibu. Secara normal, janin manusia selama 9 bulan 10 hari berada di kegelapan rahim ibu. Pelupuk mata tak berfungsi. Tapi, pancamaya tetap mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan bayi di dalam kegelapan. Ketiga kekuatan alam belum menjadi penghalang bagi pancamaya. Baru se­telah bayi dihadirkan di alam yang terang, dan pelan-pelan kerja pikiran mengaktifkan ketiganya; maka cita-cita luhur manusia se­bagaimana yang dituntunkan, menjadi terhalangi.

Daya yang memancarkan warna merah mendorong tumbuhnya "emosi" pada diri manusia. Daya yang merah ini juga mendorong timbulnya berbagai macam keinginan pada manusia. Lemahnya daya ini juga menyebabkan hilangnya rasa cinta, hilangnya selera dalam hidup. Perhatikanlah warna lambang cinta atau kasih sayang? Tanda cinta atau kasih sayang dilambangkan dengan warna merah. 

Keberanian juga diberi lambang warna merah. Mengapa? Karena keberanian lahir dari emosi manusia. Keberanian hadir dari luapan hatimanusia. Kemampuan untuk mengendalikan kekuatan alam yang berwarna merah ini, akan melahirkan sikap hidup yang penuh ke­darmawanan bagi sesamanya. Ki Samurti ini memang harus diper­hatikan agar kita bisa menjadi manusia pemaaf. Bukan manusia pen­dendam. Ingat, dendam itu tak ada akhirnya. Kehidupan yang damai tak akan pernah terwujud bila dendam selalu dilampiaskan. Akhirnya, damai hanya berupa harapan kosong!

 

Sedangkan daya yang memancarkan warna kuning, menghalangi timbulnya pikiran yang balk. Mendorong nafsu birahi. Mencegah ketulusan hati. Daya kuning inilah yang mendorong lahirnya sikap saling curiga. Saling memata-matai. Saling mengintai. Saling mencari-­cari kesalahan orang. Kekuatannya dapat menimbulkan berbagai ma­cam kerusakan. Jadi, potensi manusia untuk merusak ada di dalam daya alam yang berwarna kuning. Angan-angan dan pikiran juga ada di dalamnya. Berbagai macam keinginan terhadap materi dan ke­indahan juga timbul dari si kuning.

 

Tapi, yang kuning jika dikendalikan dengan baik akan mendorong timbulnya usaha ke perbaikan. Menghasilkan pikiran yang imajinatif. Kematangan pikiran seseorang juga lahir dari yang kuning. Bukan kebetulan jika kebanyakan buah yang matang itu kuning warna ku­litnya. Wajah yang berseri-seri juga tampak bersinar kuning. Tim­bulnya berbagai macam kreasi juga dari daya yang kuning.

Daya hitam, merah dan kuning jika tidak dikendalikan, dan menutupi pancamaya, menyebabkan terhalangnya keinginan yang lu­hur. Pancaran sinar hati terhalang, sehingga diri berada dalam ke­gelapan. Ketiga daya itu sebenarnya obor bagi sang diri. Tetapi, jika tidak bijak, jiwa manusia menjadi terbakar. Gosong! Sehingga ke­hilangan sifat-sifat manusiawinya. Dan, petaka akibat ulah manusia akan ada di mana-mana. Surga hanya merupakan angan-angan semata!

 

 

 

Dalam khazanah tasawuf, empat daya yang berwarna hitam, me­rah, kuning, dan putih itu dipandang sebagai kekuatan jiwa atau nafsu: al-amarah, al-lawwamah, al-shufiyah, dan al-muthmainnah. Li­hat kembali uraian tentang nafs pada buku Syekh Siti Jenar [karya lain dari penulis].

Kembali pada bait yang menyatakan satunya Artadaya dan Sang Sukma. Sukma yang dibekali pancamaya yang bersinar putih ce­merlang, ada di dalam wadah yang namanya Artadaya. Dan, Artadaya ini merupakan wujud dari tiga kekuatan alam yang berwarna hitam, merah, dan kuning. Selanjutnya kisah perjalanan batin Sunan Kalijaga diutarakan dalam Pupuh 4 [Dhandhanggula] bait ke 17 Suluk Ling­lung sebagai berikut.

Sirna patang prakara na malih
urub siji wewolu warnanya
Seh Melaya lon ature
punapa wastanipun
urub siji wewolu warni
pundi ingkang sanyata
urub kang satuhu
wonten kadi retna muncar
wonten kadi maya-maya ngebati
wonten abra markata//

"Empat warna lenyap. Muncul yang lain. Satu nyala delapan warna. Syekh Melaya berkata pelan: "Apakah namanya? Satu nyala delapan warna itu, mana yang sejati, nyala yang se­benarnya? Ada yang seperti mutiara bersinar kemilau. Ada yang bagaikan sinar warna-warni menakjubkan. Ada yang te­rang gemerlapan."

Berdasarkan tuturan dalam suluk tersebut, Sunan melihat empat macam warna yang memancar, lalu lenyaplah pancaran warna itu. Kemudian, Sunan melihat satu nyala. Ya, satu nyala yang mengandung delapan warna. Ada yang nyalanya bagaikan mutiara yang kemilauan sinarnya. Ada pula nyala yang berwarna-warni sinarnya. Dan, menak­jubkan! Ada juga yang terang sekali serta gemerlapan.

 Itu semua memesona Sunan. Dan, pengalaman demikian ini bisa timbul pada orang yang dalam sekali meditasinya. Orang yang amat khusyuk dalam zikirnya. Meski tidak semua orang yang intens zikirnya atau meditasinya bisa mempunyai pengalaman seperti itu. Sunan bertanya kepada Guru Sejatinya [GS]. Dalam suluk tersebut yang ditanya sebagai GS adalah Nabi Khidhir. Inilah khazanah sufisme Jawa. GS ini juga disebut sebagai Sukma Sejati, Roh Suci, Roh Kudus. Dalam kesusasteraan wayang Mataram Islam, GS itu disebut "Dewa Ruci".

 Dalam bait selanjutnya Nabi Khidhir menjawab pertanyaan Su­nan. Menurut Khidhir warna-warna yang gemebyar itu sebenarnya satu. Berasal dari wujud yang satu. Sebagaimana diungkapkan bahwa artadaya dan sukma itu satu asal-usulnya. Namun wujudnya beraneka warna. Sehingga oleh Khidhir disebutkan bahwa semua warna yang dilihat oleh Sunan itu merupakan perlambang bagi seluruh isinya bumi dan langit. Artinya, segenap isinya bumi dan langit itu ada pada tubuh manusia! Baik dalam suluk Linglungnya Sunan Kalijaga maupun yang terdapat dalam "Bima Suci Kidung Basa Mardawa"^ disebutkan bahwa kedelapan warna ini juga merupakan miniatur jagad raya yang ada di dalam diri manusia.

Khidhir selanjutnya menerangkan bahwa apa yang dapat disak­sikan dalam keadaan meditasi bukanlah Tuhan. Yang menguasai segala keadaan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, tidak dapat dilihat.13 Dia tidak mempunyai rupa, tidak berwarna, tak berujud, ridak dapat dikhayalkan, tanpa tempat tinggal [tidak bertempat pada sesuatu].14 Dia hanya terjangkau oleh orang yang hatinya awas. Hanya isyarat atau perlambangnya saja yang memenuhi semesta. Meski dekat, tapi tak bisa disentuh! Tuhan juga dinyatakan sebagai "tan kena kinaya ngapa': Dia tak dapat digambarkan atau dibayangkan seperti apa pun. Dia hanya bisa disifati dengan sifat-sifat yang patut bagi-Nya. Dalam bahasa Alquran, sifat-sifat itu dinamakan "al-asmaul al-husna'; nama-nama terbaik-Nya.

Karena Tuhan itu tak dapat dijangkau, baik oleh angan-angan atau fisik, makanya manusia tak perlu berebut Tuhan! Tuhan tak perlu dipertengkarkan hingga terjadi pertumpahan darah. Terjadi saling membunuh berebut klaim kebenaran. Sehingga misi agama yang sa­ngat mulia itu ternodai oleh kepicikan pemeluknya. Diungkapkan oleh Bhante Gunaratana bahwa pembunuhan yang dilakukan manusia untuk melindungi harta bendanya, belum ada apa-apanya jika di­bandingkan dengan pembunuhan yang dilakukan untuk melindungi kepercayaan yang tidak sehat atau relijius.15 Lha, tidak bisa dimisalkan dengan segala sesuatu kok dipertengkarkan, apa nggak konyol nama­nya?! Mengenal diri adalah jalan utama untuk hidup bahagia. Dan, zikir atau meditasi merupakan wahana untuk bisa mengenal diri. Dengan mengenal dirinya, niscaya akan mengenal Tuhannya. Begitulah yang diamanatkan dalam sebuah hadis.

Kalau bukan Tuhan, lalu apa yang disaksikan Sunan? Ternyata, yang disaksikan Sunan bak boneka gading yang berkilauan sinarnya itu adalah Premana atau Permana. Inilah yang juga disebut chi [qi] dalam pandangan Cina. Ki dalam ajaran kebatinan atau Reiki dari Jepang. Yang juga dikenal sebagai prana dalam ajaran India. Permana itu menjadi satu dengan tubuh manusia yang masih hidup. Permana ada di dalam tubuh. Dan, Permanalah yang menyebabkan badan ini hidup. Tetapi, Permana tak ikut merasakan suka cita, bahagia, riang gembira. Tidak turut merasakan kesedihan, kesakitan, kepedihan, dan penderitaan. Permana juga tidak membutuhkan tidur dan istirahat. Tidak pula memerlukan makan dan minum. Jika Permana ini keluar dari tubuh maka badan menjadi tak berdaya. Akhirnya membusuk. Jadi, kekuasaan Permana itu untuk hidupnya badan jasmani ini.

 Anda mungkin sudah mengenal Yoga, Qigong, Tai chi, Reiki, dan lain-lainnya. Itu semua merupakan cara untuk mengolah raga agar bisa dibangkitkan Permana yang ada di dalam tubuh ini. Semua itu dimaksudkan untuk mengeksplorasi prana yang ada pada diri manusia. Yang selanjutnya bisa digunakan untuk pencegahan penyakit, penyembuhan, relaksasi, kedamaian hati, dan peningkatan kualitas pikiran.

Dengan adanya Permana manusia bisa merasakan sesuatu melalui inderanya. Juga bisa mengidentifikasi berbagai rasa dunia ini. Misalnya, manusia bisa membedakan berbagai jenis rasa manis, pahit, dan asam. Rasa yang terbit dari emosi, pikiran, dan angan-angan juga disebabkan oleh Permana. Tetapi, Permana sendiri hidupnya tergantung pada Sukma Jati, Diri Sejati manusia. Jika badan jasmani ini mati, maka lenyaplah Permana, tapi Sukma Jati tetap ada.

Sukma Jati, atau Diri Sejati, berasal dari Cahaya yang terpuji. Ya, dari Nur Muhammad. Nur Muhammad hanya ada satu! Dan, Nur Muhammad inilah yang selalu mendapatkan pancaran Cahaya Ilahi. Seluruh manusia itu pada mulanya satu. Cahaya asal itu satu. Nah, pancarannya ke segenap arah inilah yang menyebabkan terjadinya "aku" yang tak terbilang. Meski manusia terus-menerus bertambah, tapi itu perwujudan dari satu cahaya. Karena itu, manusia harus bisa hidup bersatu!

Tahu Tujuan Hidup


Setelah manusia memahami kembang tepus, jati dirinya, maka se­lanjutnya manusia harus mengetahui tujuan hidup. Menurut Sunan, siapa yang mengetahui tujuan hidup, seolah-olah la mengetahui pagere wesi, rineksa wong sajagad'; pagar besi yang dijaga oleh manusia sedunia. Tujuan hidup, jelas untuk kembali kepada-Nya. Lalu, apa hubungannya tujuan hidup dengan pagar besi?

Tujuan hidup yang pokok pasti sama. Cuma pernik-perniknya yang tidak sama. Apa yang sama? Yaitu, tujuan untuk memperoleh kedamaian. Salam! Orang Jawa bilang "slamet". Selamat lahir dan batin. Selamat dunia akhirat. Salam, atau selamat merupakan keadaan yang ingin dituju manusia. Karena, hanya dalam keadaan selamat manusia bisa menikmati kebahagiaan.

Ada sebuah doa yang berasal dari hadis Nabi, yaitu doa "salam". Doa ini biasa dilafalkan sehabis salat. Selesai sembahyang. Dalam doa ini Tuhan disebut sebagai "al-Salam", Yang Mahadamai, sekaligus yang memiliki kedamaian. Karena itu, Tuhan adalah sumber keda­maian. La min ka al-sala m, dan dari Engkau kedamaian itu. Ya, hanya dari Tuhan datangnya kedamaian atau keselamatan. Makanya, keselamatan hanya di dapat bila kita kembali kepada Tuhan.

Jika jelas-jelas yang dituju manusia itu keselamatan, maka manusia harus memahami hukum-hukum di dunia yang bisa mengantarkan dirinya ke kehidupan yang penuh kedamaian. Nah, pagar besi dalam tembang itu adalah undang-undang, atau peraturan untuk hidup di dunia ini. Orang yang mengetahui undang-undang kehidupan ba­gaikan mengetahui pagar besi yang dijaga manusia seluruh dunia.
 
Meskipun undang-undang bangsa yang satu itu berbeda dengan yang ada pada bangsa yang lain, tapi pokok undang-undang itu sama saja. Tujuan undang-undang, ya agar terbentuk kehidupan yang damai. Aman sentosa. Tercipta ketertiban dan keamanan di masya­rakat. Di tengah kedamaian tentu saja warganya bebas dari gangguan. Karena itu, di setiap undang-undang termuat kewajiban dan pe­larangan.

Karena tujuan yang pokok dari kehidupan itu sama, maka ma­nusia harus hidup saling mengenal. Bukan saling kenal nama, tetapi sama-sama tahu tujuan pokok kita dalam hidup di dunia ini. Orang Barat maupun Timur, sama-sama ingin hidup selamat. Sama-sama ingin meraih kebahagiaan lahir dan batin. Sama-sama merasa aman. Sama-sama merasakan perlindungan.

Untuk mengetahui tujuan hidup itu, manusia harus mengetahui pagar atau hukum yang ada di negara yang ditempati. Orang Indonesia yang hidup di Amerika, ya harus mengetahui dan mematuhi hukum di sana. Begitu pula sebaliknya. Nah, alam bagi artadaya adalah alam pagar besi. Pagar yang dimaksudkan untuk membatasi clan mengendalikan hawa nafsu warga negara yang hidup di dalamnya. Tanpa adanya pagar besi alias penerapan undang-undang, kehidupan akan hancur dan keadilan hanya slogan belaka. Karena yang kuat akan memangsa yang lemah. Yang kuat akan menindas golongan dhu`afa ; kaum yang lemah. Dan, orang akan menerapkan undang­undang clan penegakan hukum, bila sama-sama mengetahui tujuan hakiki hidup ini.

Nah, orang yang senantiasa menanam kebajikan, pasti dapat me­negakkan hukum dengan ringan. Karena tahu pagar besi yang dijaga orang. Karena mengerti peraturan bagi kehidupan bersama. Hukum yang dipikul oleh semua orang. Jika peraturan itu dijalani siang dan malam, niscaya dalam kehidupan ini akan terjauh dari perbuatan jahat, balk yang berasal dari dorongan hawa nafsu sendiri maupun yang berasal dari orang lain. Menjaga peraturan secara bersama-sama, dengan hidup saling mengingatkan clan saling berpesan tentang ke­benaran adalah langkah menuju kedamaian.

 Oleh karena manusia yang dilahirkan di dunia ini bersandangkan hawa nafsu, kuasa nafsu, maka manusia harus bisa mengenal dirinya. Mengetahui asal-usulnya. Karena tanpa mengenal siapa dirinya, justru ia akan terbelenggu oleh hawa nafsunya sendiri. Terperosok ke dalam kubangan hawa nafsunya sendiri. Itulah pesan Sunan dalam kehidupan bersama.